Sudut Taromboh sebagai 'Tarikh' Batak
M.O. Parlindungan dalam bukunya yang berjudul "Tuanku Rao/Sipongki Nainggolan", telah mencoba menyusun suatu Rekontruksi dari sejarah Batak, dengan membuat angka-angka tahun/abad. Dapat dikatakan sebagian besar telah merintis jalan untuk penerafan sejarah Batak. Tetapi sayang nilai buku tersebut telah merosot sedemikian rupa, seperti disebut oleh peribahasa lama; 'Karena nilai setitik rusak susu sebelanga'. Penulis memang telah berhasil mengungkap sebagian sejarah sukubangsa Batal yang terpendam selama ini, tetapi karena dipengaruhioleh ambisi-ambisi pribadi dan golongan, secara kekanak-kanakan dimana tidak sesuai pula dengan keberadaan sebenarnya; misalnya mengenai kekuasaan dan kepribadian dinasti Tuanku Singa Mangaraja, disertai dengan bahsa 'gado-gado' yang kurang sopan; menyebabkan buku yang begitu tebal (berasal dari riset ayahnya Sutan Martuaraja siregar berpuluh-puluh tahun), rasanya sulit mendapat tempat wajar dalam perpustakaan Nasional.
Suku bangsa juga mempunyai 'Kalender' yang dinamakan 'Parhalaan' (Indonesia = per-kala-an), mana yang lebih tua daripada kalender Cina atau Mesir, masih memerlukan penelitian. 'Perkalaan' Batak dihubungkan dengan duduknya 'bulan' dan 'perbintangan'. Hanya disayangkan karena tidak mempunyai angka-angka tahun/ abad, untuk menggandalkan angka-angka 'sundut' tarombo/tambo (silsilah) sebagai pengganti angka-angka tahun/abad; maka sukar dipergunakan oleh umum sebagai pegangan penentuan angka tahunan.
Dalam masyarakat Batak Toba-tua umumnya di pergunakan sundut dari dinasti Tuan Singa Mangaraja (I_-XII) atau lebih tepat disebut 'Tarikh dinasti tuan Singa Mangaraja' sebagai angka-angka tahunan. Sebab pada umumnya orang Batak wajib dan suka ber-tarombo antara sesamanya disetiap kesempatan , untuk memperluas jaringan-jaringan pertalian kekeluargaan/kekerabatan Dalihan Natolu. Maka mau atau tidak mau, terpaksa pula harus mengetahui pengetahuan tarombo, paling sampai 7 sundut dari/ke pribadi masing-masing secara vertikal dan horizontal. orang-orang yang tidak mengetahui tarombonya, di cap sebagai 'Jolma Lilu' (orang keliru/kesasar) yang disamakan dengan orang 'hatoban' (budak/hamba sahaya) di zaman lampau. Justru oleh sebab itu disiplin dan sosial kontrol masyarakat hukum adat Batak terhadap pengetahuan tarombo Batak, tetap berjalan baik dari zaman ke zaman dalam segala penghidupan dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat, dari dulu hingga sekarang. Karena tidak ada suatu karya adat dalam suka dan duka dapat berjalan tanpa tarombo Dalihan Natolu.
Berhubung dengan pentingnya dan harganya tarombo tersebut, maka Pemerintah Belanda dan Rhjinsche Zending, terpaksa menugaskan beberapa pejabat mengadakan riset untuk ini, yakni seperti Pendeta Dr. Warneck, Joustra (pernah pendeta ditanah karo) dan lain-lain, Kontelir Van Dijk, Assisten Residen/Residen Ypes, Vergouwen, Kontelir/Residen Poortman, James dan lain-lain. Yang paling populer dalam hal ini, adalah Ypes dengan bukunya berjudul: 'Bijdrage tot de kennis van de stamverwantschappen en het grondrecht der Toba - en Dairibataks' (1932). dan Demang W.N Hutagalung dengan bukunya berjudul: "Pustaha taringot tu tarombo Batak" (1926).
Siapa penulis penyalin dan penyusun tarombo Siraja Batak yang pertama sekali, cara bagaimana penyusunannya dan ari mana sumbernya, yang perlu juga kita ketahui.Sepanjang yang dapatdiketahui, ialah Van Dijk (kontelir di balige setelah kontelir Welsink) dalam 'Tijdschrift Bataviasche Genootschap' (1890) dan kemudian Dr. J. Warneck (mula-mula pendeta di Nainggolan pulau Samosir) dengan bukunya "Tobabataks Worterboek" (1903). Karena tanpa menguasai pengetauan tarombo, tidak mungkin penjajahan Belanda dan Pengkabaran Injil di pusat negeri Toba dapat berjalan. Sebagai sumber pengetahuan tarombo pada mulanya ialah dari beberapa buku Pustaha Batak yang ditulis oleh para Datu/Guru sastrawan Batak.
Tetapi oleh karena tarombo dan lain sebagainya dalam buku-buku Pustaka Batak Sengaja ditulis secara sama-samar dan berteka-teki yang berlain-lainan satu sama lain, maka para penulis tarombo yang pertama itu, terpaksa turun ke lapangan, untuk mengecek kebenaranya kepada kalangan raja-raja, yang pada umumnya telah diadakan Kampung/Negeri-vorming, bedasarkan tarombo genealogis, geografis/territtorial dalam pesekutuan/perikatan masyarakat hukum adat; sebagai salah satu pertimbangan untuk memilih an mengangkt Raja-Raja Adat (kepala-kepala Kampung/Negeri/Kuria). tetapi sayang sedikit, kerapkali disalalah gunakan pihak Belanda untuk kepentinga penjajahannya. Demikian lahsebabnya maka tarombo sukubangsa Batak dipusat Negeri Toba, semakin bertambah Jelas, Lengkap dan berharga, yang tidak ada akedapatan dalam masyarakat mana pun diseluruh dunia.
Sehubungan dengan data-data sebagai diuraikan di atas, maka tidak ada lagi kesangsian kita, memakai tarombo Batak seperti yang kedapatan sekarang, untuk menjadi dasar penentuan tarikh sejarah Batak, yakni menurut garis lurus dari tarombo dinasti Tuan Singa-Mangaraja, mulai dari leluhur sukubangsa Batak Toba-tua Siraja Batak, sebagai mana telah pernah dipaparkan oleh penulis sendiri dalam harian 'Waspada' mean (31-2-1961).
Setelah dipelajari lebih jauh data-data dan fakta-fakta tarombo dan tarikh dinasti Tuan Singa Mangaraja; sekarang telah dapat dipakai tanpa ragu-ragu dengan penjelasan, bahwa satu sundut/generasi, adalah masa 25 sampai 30 tahun lamanya. Tetapi karena bangsa kita pada abad lampau umumnya usianya lebih tinggi dari pada usia bangsa kita yang hidup pada abad putera 'tungal'; maka mas 30 tahun tiap-tiap sundut, dapat dianggap lebih mendekati kebenaran. dan sebagai titik tolak perkiraan dipakai/diambil dari angka tahun kelahiran Raja Singa Mangaraja ke-XII, yang dapat diyakini lahir pada tahun 1845.
"Lahirnya Singamangaraja I dikota Bakkara, dapat dikatakan terhitung mulai dari turunan (graad) yang ke-8 dari garis silsilah, kira-kira sama dengan 200-300 tahun sesudah Siraja Batak atau 300-400 tahun yang silam". (M.O. Parlindungan o.c., hal 489)
Dapat kah kebenaran dari dinasti Tuan Singa Mangaraja sebagai tercantum di atas, di pertanggung jawabka secara ilmiah;sekarang mari kita uji menterafkannya dengan tarikh dinasti Sultan Aceh, yakni dari sultan 'Ali Mughayat Syah' sampai kepada sultan 'Muhammad Daud Alaidin Syah' (1513-1903). Tuan Singa Mangaraja IX (Ompu Sohalompoan) mengadakan suatu perjanjian politik/pertahanan dengan sultan Aceh Alauddin Muhammadsyah untuk menghadapi ancaman agresi Belanda dimana Tuan Singa Mangaraja IX (Ompu Saholompoan); Melepaskan pelabuhan "Singkel" serta "Daerah Uti Kiri" defenitif Untuk Aceh" Dan sebaliknya sultan Aceh. Dan sebaliknya sultan Aceh (Alaudin Muhammadsyah) kembali menyerahkan pelabuhan "Pansur" serta "Daerah Uti Kanan" dngan ibu kotanya :Lipatkajang" kepada kerajaaan dinasti Tuan Singa Mangaraja. Sedangkan pelabuhan 'Barus" merupakan "Neutrale Zone" yang tidak dipertangkarkan oleh kedua belah pihak lagi "Simalungun" diakui stultan Aceh merupakan "sphere of interest" dari sultan Aceh. Sultan Alauddin Muhammadsyah memerintah dalam tahun 1781-1795. (M.O. Parlindungan, hal. 486-487). Tuan Singa Mangaraja IX memerintah kira-kira setelah berusia 25 tahun, yakni 1780-1800 sesuai dengan tarikh tadi.
Ompu Sohalompoan (Tuan Singa Mangaraja IX) digantikan oleh puteranya ompu Tuan Nabolon (Tuan Singa Mangaraja X), dimana dalam puncak perang Padri/Bonjol di pusat negeri Toba sekitar kaki Dolok Imun di Butar Siborongborong, telah gugur sebagai Pahlawan sukubangsa Batak kira-kira pada akhir tahun 1819. Sesuai dengan tarikh tadi, Tuang Singa Mangaraja X lahir kira-kira tahun 1785, berarti wafat dalam usian 24 tahun. Dan puteranya Tuan Singa Mangaraja XI (ompu Sahahuaon) lahir bertepatan pada waktu gugurnya Tuan Singa Mangaraja X (1819). Tuan Singa Mangaraja XI pernah mengikuti pendidikan militer di Aceh "Ali Muhammadsyah" yang menjadi sultan Aceh pada tahun 1870-1874. Tuan Singa Mangaraja XI pada taun 1853 dikunjungi oleh Dr. H.N var der Tuuk di Bakkara dengan cara menyamar sebagai "Raja Lambung" (putera Tuan Singa Mangaraja IX dari Ibu boru Nainggolan). Sebelum wafat (Tuan Singa Mangaraja XI) pada tahun 1865 pernah berkunjung ke Tarutung dan singgah di rumah zendeling Dr. L. Nomensen di Huta Dame.
Raja Singa Mangaraja I lahir kira-kira tahun 1515, bersamaan dengan lahirnya Sultan Aceh (Ali Mughayat syah) yang memerintahkan sejak tahun 1513. Penterafan tarikh dinasti Tuan Singa Mangaraja/Si Singa Mangaraja sebagai di uraikan di atas amat penting sekali dalam rangka penerafan Sejarah Batak. Karena sejarah Batak pun tidak lepas atau berdiri sendiri dari situasi dan kondisi dari sekitarnya dikawasan Sumatera Utara khususnya di Indonesia.
" PARHALAAN " Ditulis dalam Batang Bambu 12 bulan @ 30 Hari (Foto): Ph. O.L. Tobing) |
Dalam masyarakat Batak Toba-tua umumnya di pergunakan sundut dari dinasti Tuan Singa Mangaraja (I_-XII) atau lebih tepat disebut 'Tarikh dinasti tuan Singa Mangaraja' sebagai angka-angka tahunan. Sebab pada umumnya orang Batak wajib dan suka ber-tarombo antara sesamanya disetiap kesempatan , untuk memperluas jaringan-jaringan pertalian kekeluargaan/kekerabatan Dalihan Natolu. Maka mau atau tidak mau, terpaksa pula harus mengetahui pengetahuan tarombo, paling sampai 7 sundut dari/ke pribadi masing-masing secara vertikal dan horizontal. orang-orang yang tidak mengetahui tarombonya, di cap sebagai 'Jolma Lilu' (orang keliru/kesasar) yang disamakan dengan orang 'hatoban' (budak/hamba sahaya) di zaman lampau. Justru oleh sebab itu disiplin dan sosial kontrol masyarakat hukum adat Batak terhadap pengetahuan tarombo Batak, tetap berjalan baik dari zaman ke zaman dalam segala penghidupan dan kehidupan di tengah-tengah masyarakat, dari dulu hingga sekarang. Karena tidak ada suatu karya adat dalam suka dan duka dapat berjalan tanpa tarombo Dalihan Natolu.
Berhubung dengan pentingnya dan harganya tarombo tersebut, maka Pemerintah Belanda dan Rhjinsche Zending, terpaksa menugaskan beberapa pejabat mengadakan riset untuk ini, yakni seperti Pendeta Dr. Warneck, Joustra (pernah pendeta ditanah karo) dan lain-lain, Kontelir Van Dijk, Assisten Residen/Residen Ypes, Vergouwen, Kontelir/Residen Poortman, James dan lain-lain. Yang paling populer dalam hal ini, adalah Ypes dengan bukunya berjudul: 'Bijdrage tot de kennis van de stamverwantschappen en het grondrecht der Toba - en Dairibataks' (1932). dan Demang W.N Hutagalung dengan bukunya berjudul: "Pustaha taringot tu tarombo Batak" (1926).
Siapa penulis penyalin dan penyusun tarombo Siraja Batak yang pertama sekali, cara bagaimana penyusunannya dan ari mana sumbernya, yang perlu juga kita ketahui.Sepanjang yang dapatdiketahui, ialah Van Dijk (kontelir di balige setelah kontelir Welsink) dalam 'Tijdschrift Bataviasche Genootschap' (1890) dan kemudian Dr. J. Warneck (mula-mula pendeta di Nainggolan pulau Samosir) dengan bukunya "Tobabataks Worterboek" (1903). Karena tanpa menguasai pengetauan tarombo, tidak mungkin penjajahan Belanda dan Pengkabaran Injil di pusat negeri Toba dapat berjalan. Sebagai sumber pengetahuan tarombo pada mulanya ialah dari beberapa buku Pustaha Batak yang ditulis oleh para Datu/Guru sastrawan Batak.
Tetapi oleh karena tarombo dan lain sebagainya dalam buku-buku Pustaka Batak Sengaja ditulis secara sama-samar dan berteka-teki yang berlain-lainan satu sama lain, maka para penulis tarombo yang pertama itu, terpaksa turun ke lapangan, untuk mengecek kebenaranya kepada kalangan raja-raja, yang pada umumnya telah diadakan Kampung/Negeri-vorming, bedasarkan tarombo genealogis, geografis/territtorial dalam pesekutuan/perikatan masyarakat hukum adat; sebagai salah satu pertimbangan untuk memilih an mengangkt Raja-Raja Adat (kepala-kepala Kampung/Negeri/Kuria). tetapi sayang sedikit, kerapkali disalalah gunakan pihak Belanda untuk kepentinga penjajahannya. Demikian lahsebabnya maka tarombo sukubangsa Batak dipusat Negeri Toba, semakin bertambah Jelas, Lengkap dan berharga, yang tidak ada akedapatan dalam masyarakat mana pun diseluruh dunia.
Sehubungan dengan data-data sebagai diuraikan di atas, maka tidak ada lagi kesangsian kita, memakai tarombo Batak seperti yang kedapatan sekarang, untuk menjadi dasar penentuan tarikh sejarah Batak, yakni menurut garis lurus dari tarombo dinasti Tuan Singa-Mangaraja, mulai dari leluhur sukubangsa Batak Toba-tua Siraja Batak, sebagai mana telah pernah dipaparkan oleh penulis sendiri dalam harian 'Waspada' mean (31-2-1961).
Setelah dipelajari lebih jauh data-data dan fakta-fakta tarombo dan tarikh dinasti Tuan Singa Mangaraja; sekarang telah dapat dipakai tanpa ragu-ragu dengan penjelasan, bahwa satu sundut/generasi, adalah masa 25 sampai 30 tahun lamanya. Tetapi karena bangsa kita pada abad lampau umumnya usianya lebih tinggi dari pada usia bangsa kita yang hidup pada abad putera 'tungal'; maka mas 30 tahun tiap-tiap sundut, dapat dianggap lebih mendekati kebenaran. dan sebagai titik tolak perkiraan dipakai/diambil dari angka tahun kelahiran Raja Singa Mangaraja ke-XII, yang dapat diyakini lahir pada tahun 1845.
"Lahirnya Singamangaraja I dikota Bakkara, dapat dikatakan terhitung mulai dari turunan (graad) yang ke-8 dari garis silsilah, kira-kira sama dengan 200-300 tahun sesudah Siraja Batak atau 300-400 tahun yang silam". (M.O. Parlindungan o.c., hal 489)
TARIKH SEJARAH BATAK | |||||
No | Lahir Tahun | Abad | |||
s | |||||
1
|
Siraja Batak
|
1305
|
XIV
|
||
2
|
Raja Isumbaon
|
1335
|
XIV
|
||
3
|
Tuan Sori Mangaraja
|
1365
|
XIV
|
||
4
|
Tua Oloan
|
1395
|
XIV
|
||
5
|
Siraja Oloan
|
1425
|
XV
|
||
6
|
Toga Sinambola (m. Sinambela)
|
1455
|
XV
|
||
7
|
Ompu Raja Bonani Onan
|
1485
|
XV
|
||
8
|
Raja Mangkutan/Mahkuta
|
T.S.M
|
I
|
1515
|
XVI
|
9
|
Raja Tinaruan
|
T.S.M
|
II
|
1545
|
XVI
|
10
|
Raja Itubungna
|
T.S.M
|
III
|
1575
|
XVI
|
11
|
Sori Mangaraja
|
T.S.M
|
IV
|
1605
|
XVI
|
12
|
Ampallongos
|
T.S.M
|
V
|
1635
|
XVII
|
13
|
Ampangulbuk
|
T.S.M
|
VI
|
1665
|
XVII
|
14
|
Ompu Tuan Lombut
|
T.S.M
|
VII
|
1695
|
XVII
|
15
|
Ompu Sotaronggal
|
T.S.M
|
VIII
|
1725
|
XVII
|
16
|
Ompu Sohalompoan
|
T.S.M
|
IX
|
1755
|
XVIII
|
17
|
Ompu Tuan Nabolon
|
T.S.M
|
X
|
1785
|
XVIII
|
18
|
Ompu Sohahuaon
|
T.S.M
|
XI
|
1815
|
XVIII
|
19
|
Patuan Bosar O.P. Batu
|
T.S.M
|
XII
|
1845
|
XVIII
|
Stempel Kerajaan Maharaja Negeri Toba (Foto: Adniel L. Tobing |
Ompu Sohalompoan (Tuan Singa Mangaraja IX) digantikan oleh puteranya ompu Tuan Nabolon (Tuan Singa Mangaraja X), dimana dalam puncak perang Padri/Bonjol di pusat negeri Toba sekitar kaki Dolok Imun di Butar Siborongborong, telah gugur sebagai Pahlawan sukubangsa Batak kira-kira pada akhir tahun 1819. Sesuai dengan tarikh tadi, Tuang Singa Mangaraja X lahir kira-kira tahun 1785, berarti wafat dalam usian 24 tahun. Dan puteranya Tuan Singa Mangaraja XI (ompu Sahahuaon) lahir bertepatan pada waktu gugurnya Tuan Singa Mangaraja X (1819). Tuan Singa Mangaraja XI pernah mengikuti pendidikan militer di Aceh "Ali Muhammadsyah" yang menjadi sultan Aceh pada tahun 1870-1874. Tuan Singa Mangaraja XI pada taun 1853 dikunjungi oleh Dr. H.N var der Tuuk di Bakkara dengan cara menyamar sebagai "Raja Lambung" (putera Tuan Singa Mangaraja IX dari Ibu boru Nainggolan). Sebelum wafat (Tuan Singa Mangaraja XI) pada tahun 1865 pernah berkunjung ke Tarutung dan singgah di rumah zendeling Dr. L. Nomensen di Huta Dame.
Raja Singa Mangaraja I lahir kira-kira tahun 1515, bersamaan dengan lahirnya Sultan Aceh (Ali Mughayat syah) yang memerintahkan sejak tahun 1513. Penterafan tarikh dinasti Tuan Singa Mangaraja/Si Singa Mangaraja sebagai di uraikan di atas amat penting sekali dalam rangka penerafan Sejarah Batak. Karena sejarah Batak pun tidak lepas atau berdiri sendiri dari situasi dan kondisi dari sekitarnya dikawasan Sumatera Utara khususnya di Indonesia.
Belum ada Komentar untuk "Sudut Taromboh sebagai 'Tarikh' Batak"
Posting Komentar