Black, Barista Siantar yang Pernah Mendunia

Black Barista Yang Pernah Medunia



 Anak milineal masa kini. Berkaos, celana jeans dan sepatu sneakers. Kesannya cuek namun sangat ramah. Orang-orang memanggilnya Wak Black, mungkin karena kulitnya agak gelap. “Itu nama saya di Instagram, dulu saat sekolah teman-teman memanggil saya Black,”kata anak muda yang bernama lengkap Fikry Azda Din ini.

Tapi siapa sangka, ia adalah barista muda asli Siantar yang masuk dalam 9 besar dunia. Barista adalah sebutan kepada seseorang yang pekerjaan membuat dan menyajikan kopi kepada pelanggannya. Kini profesi barista bukan lagi sekedar pembuat kopi : mereka adalah seniman. Dan ini yang sering dikonteskan hingga tingkat dunia.

Diusianya yang baru menginjak 22 tahun, Black berhasil menembus kontes World Aeropress Championship di Sidney, Australia pada 2018 lalu. Dalam sebuah ulasan di situs majalah.ottencoffee.co.id, Fikry membuat banyak orang bertanya-tanya siapa dirinya dan mengapa ia bisa sampai disana mengalahkan banyak sekali barista dan penyeduh bintang yang jauh lebih dijagokan.

“Nama Fikry Azda Din muncul seperti guncangan yang datang entah dari mana saat ia berhasil menembus babak final di kompetisi Indonesia Aeropress Championship tahun lalu”, tulis situs tersebut.


Kepada Mistar, Fikry mengaku tertarik menggeluti dunia kopi sejak 2014, itupun secara kebetulan. “Sejak kecil saya sering diajak ayah ke warung kopi. Minumnya ya kopi,”aku anak muda berkumis tipis ini. Saat itu ia masih penikmat kopi seperti kebanyakan orang dan belum tahu dunia kopi begitu luas.

Pemahamannya mulai berubah ketika ia ke Medan untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi setamat SMA. Orangtuanya mendorong untuk masuk perguruan tinggi sehingga ia kos di Jalan Setia Budi Medan. Tak jauh dari kos nya ada sebuah cafe bernama Warung Seni Kopi. Karena seringnya nongkrong ditempat ini, sang barista Warung Kopi Seni berbagi ilmu dan pengalamannya soal kopi.

“Saya jadi penasaran, ternyata kopi ga cuma kopi hitam yang selama ini saya nikmati. Saya googling dan mencoba secara otodidak,”kata Fikry.

Setahun di Medan, Fikry balik ke Siantar. Ia bekerja sebagai waiters di cafe. Lagi-lagi ia menggali ilmu kopi dari baristanya. Ia juga melakukan eksperimen dengan terus belajar memahami karakter kopi.

Hingga tahun 2017, ia dibawa Ricky Abraham ke Mo Coffe miliknya di Jalan Toba I Siantar. Ricky yang barista ini mengenalkan dan membimbing Fikry pada specialty coffe : sebuah genre paripurna yang mencantumkan informasi spesifik seperti daerah atau perkebunan asal, ketinggian tanaman, hingga proses pengolahan kopi.
Dengan genre ini, Fikry harus mengetahui dan memahami silsilah kopi yang akan diseduhnya. Ia juga harus memastikan petani kopi memperlakukan kopinya sesuai dengan standar. “Informasi bagaimana perlakuan kepada biji kopi dari hulu hingga hilir harus disampaikan kepada penikmat kopinya,”ujarnya lagi.

Dorongan dan dukungan dari Ricky semakin kuat. Diakhir tahun 2017, Fikry mendapat sertifikasi dari Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif Indonesia) yang menggelar ujian barista di Laguboti. Ia mengikuti ujian ini juga atas anjuran Ricky.

Bosnya ini juga ternyata diam-diam mendaftarkannya ke Indonesia Aeropress Championship (IAC) yang babak penyisihan regionalnya di Medan. Ricky “memaksa” nya untuk belajar lebih giat lagi tentang aeropress. “Saya baru mulai ngulak-ngulik resep aeropress saat akan mengikuti babak penyisihan”.

Pada babak penyisihan ini Fikry hanya menyabet juara IV namun tetap diikutsertakan dalam babak final di Jakarta. Pria yang lahir pada 15 Juli 1997 ini berlomba tanpa beban. Ia merasa sudah cukup berhasil bisa menembus babak final. “Pas di final, hasilnya seri sampe head judge-nya turun. Jadi lebih puas aja kalau ada head judge, berarti (hasilnya) lebih real”.

Nyatanya ia berhasil menggondol juara satu Indonesia Aeropress Championship dan berhak mengikuti World Aeropress Championship 2018 di Sidney, Australia. Beberapa bulan tengang waktu menjelang kompetisi itu, ternyata Fikry mengaku tidak berlatih secara khusus. Alasannya karena kopi untuk kompetisinya memang baru dikasih saat akan berlombaan. “3 jam sebelum lomba”.
Jadi di hari H kompetisi, para juara Aeropress dari seluruh dunia, totalnya ada 62 juara nasional berkumpul di Commune (sebuah event space yang berada di Waterloo, pinggiran kota Sydney—red) jam 10 pagi. Ada sambutan pembukaan dulu, cheers vodka. Lalu makan siang. Setelahnya, semua peserta sudah harus masuk ke dalam practice room. “Kami sama sekali tak boleh lagi keluar dari tempat event. Di practice room itulah beans kompetisinya kemudian dikasih. Kopi Kenya Mugaya AA yang di-roasting oleh Single O,”kata Fikry.
Fikry lagi-lagi berkompetisi tanpa beban. Ia santai mengikutinya walau terus-terus berlatih memaksimalkan 3 jam sebelum bertanding. Ia mengaku sempat stress karena pas mencoba air yang disediakan panitia, Brita filtered water ternyata tidak bisa mengekstraksi kopinya dengan maksimal.

Hasilnya? Fikry berhasil menyabet juara ke 9 dunia. Namanya pun kemudian mengguncang barista tanah air. Banyak orang yang tidak menyangka ia akan membawa pulang kemenangan.

Kini, barista yang murah senyum ini mulai diminta menjadi dewan juri dalam kompetisi aeropress. “Akhir September lalu saya menjadi juri aeropress tingkat nasional di Jakarta,”ujarnya.

Menurutnya kini barista menjadi profesi yang menjanjikan. Trend tumbuhnya “kedai kopi” di Indonesia sangat mendukung profesi ini. Para penikmat kopi juga sudah mulai teredukasi: dari sekedar penikmat kopi kini mulai menghargai kopi yang diseduhkan barista. (Edrin Nasution)


Belum ada Komentar untuk "Black, Barista Siantar yang Pernah Mendunia"

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda Di Bawah ⬇

Iklan Atas Artikel

adSense

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel